di Malam yang Dingin

Aku keluar ruang kamarku menuju balkon, disinilah tempat kesendirianku tersembunyi. Aku melihat langit yang warnanya tidak begitu gelap, berwarna abu-abu keunguan. Jika aku beruntung, aku bisa melihat detil awan yang sedang berjalan pelan-pelan dengan kecepatan seperti guru SMA ku yang sudah tua saat naik tangga. Entah kenapa, disini rasanya sangat beda, aku seperti dilindungi makhluk-makhluk balkon yang baik hati memberi suasana damai dalam hatiku, apalagi anginnya, suasana angin ini adalah bagian yang paling aku suka saat waktu menunjukkan pukul larut malam seperti ini. Beda jauh seperti kamarku, dikamarku aku hanya terperangkap sendiri dalam ruangan tidak ada jendela dan sedikit-sedikit mendengar ayunan angin kipas dengan opsi kecepatan mengipas 1 tapi tetap saja berisik, dasar kipas sialan. Aku ingat sekitar April 2020an, aku tidak bisa tidur apabila belum melewati setengah 2. Kebiasaan itu berjalan cukup lama, aku rasa nyaris 2 bulan kebiasaan itu menghantuiku. Dan disinilah sekarang aku, duduk sila diatas lantai halaman balkon yang kotor, dengan pemandangan di depan jemuran kosong yang tidak ada pakaian sedang dijemur dan pemandangan kiri atas adalah langit hitam polos sejauh jarak mata memandang. Ditemani playlist buatan sang legenda yang telah berjasa dalam kehidupanku, Backerlatief namanya. Apa kabarnya ya orang ini? Aku mendengar kembali cerita dia telah merilis episode perdana podcastnya dengan membawa nama brand besar. Aku adalah salah satu saksi pengamat berkembangnya orang ini, perbedaan yang cukup jauh selama aku kenal kau 3 tahun yang lalu ker. Sebagai adik didikan satu almamater, tentunya aku bangga akan keputusan kehidupan yang kau lakukan. Aku harap itu membawamu ke arah jalan yang sedikit lebih cerah.

Namun sebenarnya, aku sedang ada tugas menulis 2021 kata tugas bahasa inggris. Tapi saat ini benar-benar saat ini aku putuskan untuk menulis tulisan ini sementara. Jam-jam seperti ini aku suka berubah menjadi filosofi terhebat dalam duniaku sendiri, semua omonganku terasa masuk akal dan semua pikiranku lepas begitu ringan meninggalkan otakku keluar dalam bentuk narasi kalimat yang aku ketik perlahan-lahan menyusun kata-kata yang sebenarnya tidak menarik, tapi cukup mudah untuk dipahami. Bukannya itu tujuan dari menulis? agar semua dengan mudah bisa memahaminya.

Kategori terbaru dalam tulisan ini akan aku namakan “Catatan Kuliah Lulusan Belakang Hembo”. Sedikit narsis bukan? Aku tidak peduli. Tidak akan ada yang spesial dalam sakurdey.com mulai hari ini. Website ini akan menjadi diary keempat dari 3 buku diary yang aku punya mulai dari 2015. Untuk yang belum tahu, aku ingin kalian tahu bahwa menulis diary tidak seperti banci. Apabila kalian pernah mendengar perkataan berbunyi “Guru terbaik adalah pengalaman”, itu adalah benar. Tapi bodoh sekali bila orang yang membuat pepatah itu tidak menulis diary, bagaimana kita bisa membuat figur seoarang Guru apabila kita tidak mengingat persis kejadian-kejadian yang berlalu. Maka dari itu peran diary sangat dibutuhkan. Dengan ada diary, kita bisa mengingat kembali suatu momen yang berlalu, aku biasanya menertawakan nasibku yang sudah berlalu dan secara tidak langsung, aku mempelajari banyak hal dari pengalaman yang aku tulis saat itu. Aku membacanya dengan tertawa walaupun aku tahu bahwa saat itu aku sedang tidak tertawa, aku menulis dengan emosi seperti emosi anak kecil yang rewel kepada orang tuanya ketika tidak boleh dibelikan mainan.

Sebagai contohnya, ketika aku membuka ulang diary ku selama SMP, pertama aku membacanya aku bahkan tidak ingat berbagai macam kejadian. Aku nyaris lupa saat aku kelas 8 aku pernah cabut sekolah 20an kilometer hanya untuk membeli coklat dairymilk. Setelah itu, coklat itu aku berikan kepada seorang wanita. Bodohnya, coklat itu pasaran, untuk apa aku menempuh 20an kilometer apabila kalau alfamart sebrang sekolah juga pasti ada. Dan ketika aku sejauh 20 kilometer dari sekolah, aku mulai me-SMS teman-temanku dengan HP samsung putih berukuran kecil tidak berkamera yang menggemaskan dengan harga beli 100ribu. Padahal era itu era iphone dan smartphone sudah ada, anak Labschool pasti semuanya punya kecuali aku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *